Jumat, 17 April 2015

wawasan nasional

  I.     Paham kekuasaan Indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan dan ekspansionisme.
 
II.  Geopolitik Bangsa Indonesia
Geopolitik Bangsa Indonesia didasarkan atas nilai KeTuhanan dan kemanusiaan yang luhur sesuai pembukaan UUD’45. Yang pada intinya :
• Bangsa Indonesia cinta damai tapi lebih cinta kemerdekaan
• Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan dan menolak ekspansionisme
Dalam menjalin hubungan internasional Bangsa Indonesia berpijak pada paham kebangsaan (nasionalisme) yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dengan menolah chauvinisme. Bangsa Indonesia terbuka dalam menjalin hubungan kerjasama antar bangsa yang saling menolong dan saling menguntungkan. 
Paham Geopolitik Bangsa Indonesia
     GeopolitikI : Persatuan dan Kesatuan : Bhinneka Tunggal Ika
 Bangsa Indonesia cinta damai akan tetapi lebih cinta kepada kemerdekaan dan kedaulatan nusantara
 Paham Indonesia tentang negara kepulauan ( berbeda dengan paham archipelago barat : laut sebagai pemisah pulau ) laut sebagai penghubung pulau, wilayah negara : satu kesatuan utuh tanah air
 
sumber : http://obayberak.blogspot.com/

Jumat, 03 April 2015

Softskill pendidikan kewarganegaraan , (Demokrasi)

Pengertian demokrasi ? 


Yang dimaksud Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif.
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. 

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA  !
 Sistem pemerintahan adalah sistem yang dimiliki suatu negara dalam mengatur pemerintahannya. Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:

  • Presidensial
  • Parlementer
  • Semipresidensial
  • Komunis
  • Demokrasi generous
  • generous    
  Sistem pemerintahan mempunyai sistem yang tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah john menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut. Secara luas berarti pengertian sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu john demokrasi dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh.

Sistem Pemerintahan Indonesia

Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik. 

Perkembangan Pendidikan Bela Negara.

Bela Negara adalah tekad, sikap dan tindakan yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan akan kebenaran Pancasila sebagai ideologi negara dan kerelaan berkorban guna meniadakan setiap ancaman, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang membahayakan kemerdekaan dan kedaulatan negara, kesatuan dan persatuan bangsa, keutuhan wilayah dan yurisdiksi nasional serta nilai – nilai Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.  
       Tahun 1945 sejak NKRI diproklamasikan sampai 1965 disebut periode lama atau Orde Lama. Ancaman yang dihadapi datangnya dari dalam maupun dari luar, langsung maupun tidak langsung, menumbuhkan pemikiran mengenai cara menghadapinya. 

      Tahun 1965 sampai 1998 disebut periode baru atau Orde Baru. Ancaman yang dihadapi dalam periode ini adalah tantangan non fisik. Pada tahun 1973 keluarlah Ketetapan MPR dengan Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN, dimana terdapat penjelasan tentang Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Lalu pada tahun 1982 keluarlah UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dengan adanya penyelenggaraan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara dari Taman Kanak–Kanak hingga Perguruan Tinggi.
       Tahun 1998 sampai sekarang disebut periode Reformasi, untuk menghadapi perkembangan jaman globalisasi maka diperlukan undang–undang yang sesuai maka keluarlah Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur kurikulum Pendidikan kewarganegaraan, yang kemudian pasal ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Kewarganegaraan adalah hubungan negara dengan warga negara, antara warga negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus terus ditingkatkan guna menjawab tantangan masa depan, sehingga keluaran peserta didik memiliki semangat juang yang tinggi dan kesadaran bela negara sesuai bidang profesi masing-masing demi tetap tegak dan utuhnya NKRI.
     Bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai suatu bangsa yang mendiami kepulauan Nusantara  dengan berbagai karakteristiknya, yakni suatu bangsa yang sarat dengan ke bhinekaan serta berbagai dimensi kemajemukannya.
Negara kepulauan yang terbatang luas ini, secara empirik telah ditunjukan oleh pengalaman sejarahnya, yang selalu dalam kerangka kesatuan wilayah.Realitas ini ternyata membuahkan kesadaran baru, yang berkembang melalui kebangkitan nasional (1908) dan diteruskan  sumpah pemuda sebagai wujud keinginan generasi muda menuangkan satu tekad (1928), dan puncaknya adalah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945.
Mencermati realitas ini, maka diperlukan upaya-upaya tertentu, agar setiap warga bangsa memiliki kesadaran yang tinggi terhadap tanah airnya. Kesadaran ini harus tumbuh dan berkembang sebagai wujud tanggung jawab, dan bukan hanya sebagai kepentingan sesaat belaka.Untuk mengatasi segala kemungkinan tersebut diperlukan pembekalan kepada segenap warga bangsa suatu kemampuan bela negara sehingga berbagai kemungkinan yang sengaja mengancam kelangsungan hidupa bangsa mampu di cegah secara dini.
Kemampuan kemampuan ini dituangkan dalam bentuk pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) yang tujuannya untuk menigkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa pendidikan bela negara melalui warga negara yang berstatus mahasiswa, dilakukan pendidikan kewarganegaraan/kewiraan. (sumber :
widdykcil.blogspot.com/.../perkembangan-pendidikan..)


Proses Demokrasi .
 Dalam sebuah Negara yang menganut system ini, biasanya terdapat beberapa prinsip-prinsip umum. Prinsip-prinsip ini biasanya diambil dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal sebagai “Guru Demokrasi”. Prinsip tersebut ialah:
1.            Kedaulatan rakyat
2.            Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3.            Kekuasaan mayoritas
4.            Hak-hak minoritas
5.            Jaminan hak asasi manusia
6.            Pemilihan yang bebas dan jujur
7.            Persamaan di depan hukum
8.            Proses hukum yang waja
r9.            Pembatasan pemerintah secara konstitusiona
l10.          Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik
11.          Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Di Indonesia sendiri, system ini berusaha untuk dilaksanakan secara sempurna selepas kejadian Reformasi 1998.  Meski pada awalnya banyak yang meragukan pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia sudah berlangsung selama 10 tahun lebih dan terus bertahan hingga saat ini. Anggapan beberapa orang yang berpikir bahwa demokrasi akan sangat singkat di Indonesia terbukti salah. Termasuk tanggapan Indonesia terlalu besar dan kompleks untuk melaksanakan demokrasi. Pemilihan presiden secara langsung yang sukses adalah bukti bahwa Indonesia sudah maju soal demokrasi ini.

Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis.
Setiap bentuk pemerintahan pastilah memiliki ciri-ciri. Bagaimana ciri-ciri pemerintahan Demokrasi?
1.Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2.Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
3.Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
4.Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Khusus di Indonesia, demokrasi didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Dan pada UUD 1945 juga disebutkan secara jelas:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).
2. Sistem KonstitusionilPemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.
Lalu bagaimana contoh pelaksanaan Demokrasi di Indonesia?
Selain berupa pemilihan Presiden secara langsung, Bangsa Indonesia sudah melaksanakan satu bentuk demokrasi sejak masa lampau, yakni berupa Musyawarah Mufakat dan Gotong Royong. 2 nilai inilah yang oleh bangsa Indonesia lakukan sejak dulu dan sangatlah kental dengan nilai-nilai demokrasi, dimana sebuah keputusan diambil berdasarkan pendapat orang banyak dan dilakukan secara bersama-sama.
Nilai-nilai demokrasi juga ada Pada pancasila, yakni sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat
2. Republik
3. Negara berdasar atas hukum
4. Pemerintahan yang konstitusional
5. Sistem perwakilan
6. Prinsip musyawarah
7. Prinsip ketuhanan
8. Dominasi mayoritas atau minoritas.
Tapi tidak ada gading yang tidak retak. Demokrasi di Indonesia juga menemui beberapa masalah dalam pelaksanaannya. Mulai dari adanya konflik antar golongan (karena satu golongan tidak menerima pendapat golongan lain), hingga hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintahan yang bisa berujung pada tidak dianggapnya lagi pemerintahan yang berkuasa, hingga akhirnya pada satu titik memicu hal yang paling tidak diinginkan di Negara manapun, Kudeta. (sumber : https://sheratanblog.wordpress.com/2011/03/30/proses-demokrasi-di-indonesia/).

Hubungan Demokrasi dan Pemerintahan .

Rumuan kedaulatan ditangan Rakyat menunjuk kan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan Negara dan sebagai tujuan kekuasaan Negara. Oleh karena itu “rakyat” adalah merupakan paradigm sentral kekuasaan Negara. Adapun rincian structural ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut :a. Konsep kekuasaanKonsep kekuasaan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut :1. Kekuasaan ditangan Rakyat.a. Pembukaan UUD 1945 alinia IVb. Pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945c. Undang – Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (1)d. Undang – Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2)
2. Pembagian kekuasaan
3. Pembatasan Kekuasaan.
b. Konsep Pengambilan KeputusanPengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut :1. Penjelasan UUD 1945 tentang pokok pikiran ke III, yaitu “..Oleh karena itu system negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia2. Putusan majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya pasal 7B ayat 7Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hokum tata Negara Indonesia adalah berdasarkan:  a) Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai azasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.  b) Namun demikian, jikalau mufakat itu tidak tercapai,maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak
c. Konsep pengawasanKonsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:1) Pasal 1 ayat 2, “ Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”.2) Pasal 2 ayat 1, “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas DPR dan anggota DPD. Berdaarkan ketentuan tersebut, maka menurut UUD 1945 hasil amandemen, MPR hanya dipilih melalui Pemilu.3) Penjelasan UUD 1945 tentang kedudukan DPR disebut, “…kecuali itu anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden.Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka konsep kekuasaan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum dalam UUD 1945 pada dasarnya adalah:  a) Dilakukan oleh seluruh warga Negara. Karena kekuasaan di dalam system ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat.  b) Secara formal ketatanegaraan pengawasan ada di tangan DPR
d. Konsep PartisipasiKonsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:1) Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945“ Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya”.2) Pasal 28 UUD 1945“ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”3) Pasal 30 ayat 1 UUD 1945Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.
 ( sumber : http://demokrasi-diindonesia.blogspot.com/2014/01/hubungan-demokrasi-dengan-bentuk.html)

Contoh Kasus Nyata Masalah Demokrasi .
Tanah, tanah, dan tanah pemicu kasus Bulukumba; Jangan beri tanah secara cuma-cuma. Demikian dua judul liputan secara mencolok dimuat koran ini, (Kompas, 3/9).
Di Bulukumba telah terjadi konflik agraria yang membawa korban jiwa. Sejumlah petani dan aktivis ditahan di kantor polisi. Banyak penduduk yang ketakutan dan terpaksa mengungsi karena takut dikejar aparat. Begitu kentalnya keterlibatan aparat dalam kasus ini. Di lain sisi, terkesan muncul kebimbangan dari pemerintahan daerah di Sulawesi Selatan (baik kepala daerahnya maupun DPRD provinsi ataupun kabupaten) dalam mencari solusi atas kasus ini. Terdapat begitu banyak persoalan yang kini melilit kasus Bulukumba.
Sebagaimana diberitakan, sejumlah media massa pada 21 Juli 2003 di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, telah terjadi konflik tanah antara rakyat tani/masyarakat adat dengan PT London Sumatera (Lonsum) penanam kebun karet yang mengakibatkan enam orang tewas, puluhan terluka, 20-an ditangkap, puluhan jadi buronan polisi, dan ratusan lainnya mengungsi ke hutan karena ketakutan, trauma, dan dikejar aparat keamanan (polisi).
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini? Penulis mencatat ada tiga pelajaran terpenting: (1) makin kuatnya konflik kepentingan dalam penguasaan tanah antara penduduk/rakyat dengan perusahaan bermodal besar; (2) berkelanjutannya kekeliruan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, dan (3) kecenderungan digunakannya kembali pendekatan keamanan dalam menangani kasus konflik agraria.
Tulisan ini hendak mengurai ketiga pelajaran di atas sehingga ditemukan alternatif solusi, khususnya di tataran kebijakan.
Konflik penguasaan
Sudah menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah bahwa konflik penguasaan atas alat produksi (tanah) menjadi wajah sehari-hari di lapangan agraria. Konflik agraria yang terjadi saat ini sesungguhnya adalah warisan dari masa lalu.
Kasus Bulukumba merupakan contoh nyata dari upaya sistematis pemerintah, aparat keamanan, dan badan usaha bermodal besar untuk membendung perjuangan rakyat untuk mendapatkan haknya atas tanah dan kekayaan alam lainnya dengan cara represif. Padahal, perjuangan rakyat ini bukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum, melainkan usaha langsung yang sah untuk dilakukan ketika rakyat tidak mendapat perhatian penguasa dalam mencukupi kebutuhan pokok bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, yakni tanah.
Konflik di Bulukumba ini bukanlah kejadian pertama, bukan satu-satunya, dan dikhawatirkan bukan pula kasus yang terakhir. Jauh sebelum ini, ketika Orde Baru berkuasa (1966-1998), telah terjadi ribuan kasus tanah yang berskala luas. Untuk menyebut contoh, Komnas HAM mencatat lebih dari 5.000 pengaduan kasus tanah yang mereka terima, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat berita di koran sepanjang Orde Baru telah terjadi 1.700 lebih kasus tanah di seantero Tanah Air-pada kenyataannya di lapangan bisa sampai puluhan ribu kasus.
Hingga saat ini, konflik agraria belum ditangani secara sistematis dan menyeluruh. Konflik di lapangan telah mendorong rakyat mengambil langkah sendiri dalam mengambil kembali haknya atas tanah. Motivasi rakyat ini didorong rasa ketidakpercayaan mereka pada kebijakan, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik selama ini.
Pendekatan keamanan
Kasus Bulukumba menyadarkan kita bahwa pendekatan keamanan telah kembali digunakan secara efektif dalam penanganan kasus konflik agraria. Pada zaman Orde Baru, pendekatan ini dianggap sesuatu yang lumrah, karena memang rezim yang berkuasa dikenal sebagai otoriter. Namun, begitu masuk era reformasi, pendekatan ini serta-merta dipandang sudah usang.
Faktanya kita bisa saksikan, sepanjang tahun 1998-2000, keterlibatan aparat keamanan (polisi dan tentara) dalam kasus tanah terbilang jarang terjadi. Dalam periode ini, gerakan penguasaan kembali tanah yang dilakukan rakyat (reclaiming) tidak begitu mendapat hambatan dari aparat keamanan. Dalam banyak kasus yang mencuat, kaum milisi dan preman sempat tampil ’menggantikan’ peran aparat keamanan negara dalam kasus konflik agraria. Sejenak kita mengambil kesan, militer telah kembali ke barak.
Dengan meledaknya tragedi Bulukumba, kita tersadar bahwa aparat keamanan tidak sungguh-sungguh menarik diri sepenuhnya dari konflik agraria. Ketika reformasi mulai kehilangan arah (2001-sekarang), aparat keamanan kembali turun gunung dan berhadapan dengan rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah.
Tampilnya kembali aparat keamanan ini membawa implikasi buruk bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan kasus konflik agraria. Berbagai perlakuan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam kasus Bulukumba diduga kuat melanggar HAM-sebagaimana hasil investigasi Komnas HAM (Agustus 2003) maupun Kontras (September 2003).
Padahal, menurut Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlakuan "menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia" merupakan salah satu prinsip yang wajib diterapkan oleh (aparatus) negara dalam penanganan konflik agraria.
Kekeliruan kebijakan
Sejauh ini, kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam kita masih tidak berubah dari kebijakan di masa Orde Baru. Berdasarkan kajian terdahulu atas kebijakan yang ada, ditemukan sejumlah karakter; Peraturan perundangan tersebut berorientasi pengerukan (use-oriented); lebih berpihak kepada pemodal besar; bercorak sentralistik yang ditandai dengan pemberian kewenangan yang besar kepada negara; tidak memberikan pengaturan yang proporsional terhadap pengakuan dan perlindungan HAM; dan bercorak sektoral dengan tidak melihat sumber daya alam sebagai sistem ekologi yang terintegrasi.
Dari kasus Bulukumba kita temukan bahwa hak-hak rakyat dapat dipatahkan untuk kepentingan investasi pemodal besar, pengelola perkebunan. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanah rakyat menjadi sasaran empuk untuk melancarkan pencaplokan tanah rakyat untuk operasi perkebunan besar. Rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun dan bahkan turun-temurun menguasai tanah di Bulukumba, seketika dianggap penduduk haram di atas tanahnya sendiri.
Oleh kasus Bulukumba kita diingatkan bahwa konsep hak menguasai negara (HMN) atas tanah dan kekayaan alam lainnya ternyata masih disalahkaprahkan untuk kepentingan investasi modal besar.
Hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya di Bulukumba telah diperhadapkan dengan kebijakan yang condong mengutamakan penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis perkebunan. Orientasi politik agraria semacam ini sudah banyak digugat. Pengutamaan penyediaan tanah bagi rakyat (petani) kecil yang membutuhkannya, dan pengembalian tanah-tanah rakyat yang sempat dirampas di masa lampau telah menjadi semangat zaman. Namun, kasus Bulukumba mengingatkan kepada kita bahwa semangat zaman itu sedang diuji. Akankah bandul reformasi ini kembali ke lagu lama; mendewakan investor sambil menyalahkan rakyat.
Solusi
Bercermin dari kasus Bulukumba, penulis terdorong untuk menampilkan solusi yang layak ditempuh: Pertama, perlu segera dihentikannya pendekatan keamanan dalam penanganan kasus konflik agraria. Segala bentuk kriminalisasi, penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap petani adalah tindakan yang menambah masalah, bukan menyelesaikannya. Di era demokrasi dan reformasi saat ini, semua "operasi keamanan" dalam penanganan kasus tanah sungguh sudah tidak populer lagi dan bertentangan dengan rasa keadilan serta prinsip HAM.
Kedua, pentingnya upaya damai melalui meja perundingan antara penduduk yang berkonflik dengan pemerintahan daerah untuk mencari solusi bersama. Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian perbedaan kepentingan secara adil dan tuntas dengan mengutamakan kepentingan dan hak-hak rakyat atas tanah. Pihak lain yang terlibat konflik hendaknya dilibatkan pada tahap berikutnya, setelah masyarakat dan pemda punya kesepahaman atas persoalan yang terjadi di lapangan.
Ketiga, dalam menyelesaikan kasus tanah semacam ini, pemda hendaknya menggunakan instrumen Ketetapan (Tap) MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria (UUPA), UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang pada esensinya memberi kewenangan/ruang yang besar bagi pemerintah daerah dalam menuntaskan masalah agraria, termasuk penyelesaian konflik tanah.
Keempat, sekarang ini, kebutuhan pembentukan kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah makin mendesak. Kemendesakan ini terutama disebabkan oleh cenderung meningkat dan mengerasnya konflik di lapangan. Untuk itu, di tingkat nasional perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Sengketa Tanah (Agraria) yang dibarengi dengan pembentukan komisi sejenis di daerah dengan menggunakan pendekatan transisional (transitional justice). Keberadaan mekanisme dan badan alternatif ini tidak perlu menunggu jatuhnya korban lebih banyak lagi.
(sumber : http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2607&coid=3&caid=22&gid=2)